BERBICARA TENTANG MASALAH SEBENARNYA
Suatu Dialog yang Korelasional dan Bertanggung Jawab Secara Global
Bagian ini merupakan panggung di mana dijelaskan tentang latar belakang masalah yang sedang dibahas. Di dalamnya dijelaskan, sejelas mungkin, unsur-unsur utama suatu dari dialog antar-agama yang bisa korelasional dan bertanggung jawab secara global.
Tekanan pada bagian ini adalah pada sifat “kolerasional”. Apa yang dibicarakan adalah apa yang disebut perubahan pluralis dalam pendekatan Kristen terhadap agama-agama lain.
Salah satu upaya tertinggi umat Kristen adalah mengembangkan suatu dialog yang autentik, lintas agama dan budaya yang bisa memungkinkan semua pihak mencari dan menemukan Kebenaran dalam wujud kekayaannya yang tak pernah pudar serta bekerja sama lebih efektif untuk menghilangkan penderitaan manusia dan lingkungan yang sedang menghancurkan bumi kita.
Dalam perspektif pluralis, umat Kristen menolak atau menghindari diri dari berbagai kata sifat seperti “hanya satu-satunya”, “definif”, “superior”, “absolut”, “final”, “tak terlampaui”, “total” untuk menjelaskan kebenaran yang ditemukan dalam Injil Yesus sang Kristus. Umat Kristen dengan mentalitas korelasional berpendapat bahwa sejak permulaan semua pihak harus saling mengakui persamaan hak di dalam dialog antar-umat beragama. Ini berarti setiap penganut agama mempunyai hak penuh untuk berbicara, atau membuat klaim dan bahwa peserta lainnya mempunyai kewajiban untuk membuka pikiran dan hati terhadap kebenaran yang baru, yang mungkin mereka hadapi di dalam Yang Lain.
Selanjutnya tanpa mengatakan bahwa ada semacam “esensi yang sama” atau “pengalaman yang sama” di dalam semua agama, penganut pluralis mengakui adanya apa yang dikatakan suatu “kesamaan yang kasar” di antara berbagai agama. Hal ini bukan berarti bahwa semua agama pada dasarnya memberitakan “hal yang sama”, tetapi bahwa karena perbedaan mereka dari agama Kristen, agama-agama lain mungkin juga sama efektif dan berhasilnya dalam membawa para penganutnya kepda kebenaran, perdamaian, dan kesejahteraan bersama Allah seperti halnya yang dilakukan agama Kristen terhadap penganutnya; juga, bahwa agama-agama lain ini, sekali lagi karena mereka begitu berbeda dari agama Kristen, mungkin memiliki pesan dan visi yang penting untuk semua orang seperti halnya agama Kristen. Dengan kata lain, dengan teologi korelasional, umat Kristen berpegang pada kemungkinan, dan mendorong probabilitas, bahwa Sumber kebenaran dan transformasi yang mereka sebut Allah dari Yesus Kristus memiliki lebih banyak kebenaran dan bentuk-bentuk transformasi lainnya yang mampu dinyatakan daripada yang telah dinyatakan dalam Yesus. Bahwa ada agama yang benar dan menyelamatkan dan bahwa agama Kristen merupakan salah satu cara di mana Allah menyentuh dan mengubah dunia kita—hanya dengan demikian dialog yang autentik dapat terjadi. Hanya dengan demikian umat Kristen masuk ke dalam forum perjumpaan antar-agama dan semua bersaksi dengan sungguh tentang apa yang telah Allah lakukan dalam Yesus dan sekaligus mendengarkan dengan rendah hati apa yang Allah juga lakukan di mana pun.
Dari dialog semacam itu, tidak akan ada suatu persatuan akhir (final unity) di mana yang banyak akhirnya menjadi satu. Kesatuan absolut yang final rupanya secara filosofis bukanlah tujuan dunia ini, atau, secara teologis bukan yang dimaksudkan Allah bagi ciptaannya.
Unsur-unsur yang membentuk visi ini : pemahaman tentang agama-agama lain, tentang keunikan Krisus, serta dasar dan tujuan dialog.
Berkaitan dengan pemahaman tentang agama-agama lain, perlu pengakuan terhadap adanya berbagai perbedaan antar-agama yang mencolok, bahkan tak terbandingkan, model korelasional yang sedang ingin dikembangkan mengakui nilai dan keabsahan dari dunia yang serba berbeda ini agama-agama lain bukan hanya sangat berbeda, namun bisa juga sangat bernilai. Inilah yang maksudkan di atas dengan “kesamaan yang kasar” di antara berbagai tradisi. Jadi suatu model dialog antar-agama yang pluralis dan korelasional mengakui kemungkinan adanya nilai dari agama-agama lain selain agama Kristen. walaupun bagi orang luar kelihatannya seperti minimalis, pernyataan yang terlampau hati-hati, pernyataan semacam itu merupakan suatu langkah besar dalam kesadaran maupun teologi Kristen. karena dalam sebagian besar sejarahnya, teologi Kristen selalu menyangkal kemungkinan bahwa Allah bisa memakai tradisi agama lain untuk menyampaikan kebenaran dan anugerah ilahi.
Agama-agama dunia harus berdialog. kalau saya mengakui bahwa Anda sangat berbeda dengan saya, dan kalau saya mengakui bahwa apa yang berbeda itu benar dan bernilai, saya tidak dapat mengabaikan Anda. Setidak-tidaknya, sikap ingin tahu, kalau bukan integritas, akan mendorong saya menyelidiki apakah yang benar untuk Anda itu juga bisa benar untuk saya, walaupun dalam cara dan kadar yang berbeda. Oleh karena itu, model korelasional ini juga menegaskan hakikat agama yang relasional dan dialogis. Jadi, semua agama perlu berbicara dan bertindak bersama.
Tentang keunikan Kristus, umat Kristen bisa terus menegaskan dan memberitakan kepada dunia tentang Yesus sebagai benar-benar (truly) ilahi dan juruselamat, namun mereka tidak perlu bersikeras bahwa Dia satu-satunya (solely) ilahi dan juruselamat. “benar-benar, namun bukan satu-satunya”. Kiranya ini merupakan upaya baru untuk menegaskan pentingnya Yesus dalam dunia kepelbagaian agama. Secara teologis ini berarti bahwa walaupun umat Kristen dapat dan harus terus memberitakan Yesus dari Nasaret sebagai pribadi yang melalui-Nya realitas dan kuasa penyelamatan Allah menjelma dan tersedia, mereka juga bisa terbuka terhadap kemungkinan/probabilitas bahwa ada juga pribadi lain yang Islam diakui umat Kristen sebagai anak Allah. Secara pribadi, kristologi pluralistik semacam ini mengizinkan dan mensyaratkan umat Kristen untuk sepenuhnya percaya (committed fully to) kepada Kristus, namun sekaligus bisa terbuka terhadap umat lainnya yang mungkin memiliki berbagai peran yang sama pentingnya. Secara gerejawi, ini berati bahwa gereja-gereja akan masuk ke dalam dunia dengan pesan yang secara universal relevan dan penting, namun sekaligus pada saat yang sama bersedia mendengarkan pesan-pesan lainnya dari sumber-sumber berbeda yang bisa juga bermanfaat dan penting secara universal.
Oleh karena itu, kristologi pluralis tidak pernah mempersalahkan apakah Yesus itu unik, namun hanya bagaimana.
Dalam dasar dan tujuan dialog, model baru bagi pemahaman Kristen terhadap agama-agama lain bukan hanya “pluralistik atau korelasional” tetapi juga “bertanggung jawab secara global atau liberatif”. Pesan utamanya adalah dialog harus bertanggung jawab secara global. Dalam pengalaman kekristenan saya, ada satu gerakan kumulatif dari teologi agama-agama yang eklesiosentris (berpusat pada gereja) ke teologi agama-agama yang kristosentris (berpusat pada Kristus), kemudian kepada teologi yang teosentris (berpusat pada Allah) sebagai upaya memahami sejarah agama dan perjumpaan antar-agama. Kini, saya mengusulkan agar gerakan ini diteruskan ke arah soteriosentris atau fokus yang berpusat pada keselamatan.
Jadi, singkatnya, unsur-unsur penting tentang perjumpaan antar-agama yang harus bersifat korelasional, yaitu mengakui adanya persamaan hak dan kemungkinan adanya validitas universal dari semua agama, maupun bersifat bertanggung jawab global, yaitu mengakui suatu komitmen bersama terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan sebagai dasar dialog.
No comments:
Post a Comment