Thursday, October 28, 2010

PENDERITAAN GLOBAL MENUNTUT TANGGUNG JAWAB GLOBAL: DASAR BERSAMA BAGI DIALOG ANTAR-AGAMA

Penderitaan Dunia Sebagai Suatu Tantangan Religius : Memberikan Prioritas dan Suara Para Korban

Bagian ini adalah gabungan dari dua bab: Bab 4 dan Bab 5 yang berusaha menunjukkan mengapa keprihatinan terhadap meluasnya penderitaan yang mencengkeram kemanusiaan dan mengancam dunia kita bisa dan harus menjadi “alasan bersama” semua agama.
Umat beragama, karena mereka religius, bisa dan harus berbuat sesuatu terhadap monster kemiskinan yang terus membuntuti apa yang dsebut sebagai tata dunia baru. Saya (Paul F. Knitter) berpendapat bahwa spektrum kemiskinan kontemporer dan penderitaan yang disebabkannya harus mempengaruhi—memang sedang mempengaruhi—cara umat menjadi religius. Kesadaran terhadap penderitaan semacam itu menuntut reformasi, atau pembaruan, terhadap cara berpikir dan berkarya dari umat yang religius.
Selain itu juga, seperti yang terdengar keras dan jelas selama KTT Bumi PBB di Rio de Janeiro, Juni 1922, kita tidak dapat lagi “melaksanakan bisnis seperti biasa” dan memisahkan masalah ekonomi dari masalah lingkungan. Keprihatinan terhadap lingkungan harus mempengaruhi cara berbisnis kita. Kita tidak lagi bisa hanya mengembangkan pembangunan; pembangunan itu harus berkesinambungan; harus memenuhi teriakan kebutuhan pangan dan papan tanpa merusak kemampuan Bumi untuk menyediakan pangan dan papan.
Tetapi kalau keprihatinan terhdap lingkungan harus mempengaruhi cara berkiprah kita dalam bisnis dan sains, maka keprihatinan tersebut juga harus mempengaruhi cara berkiprah religius kita.
Malah kini masalah “krisis ekologi” semakin lama semakin diakui sebagai masalah religius. Umat beragama berada di antara suara-suara yang menghendaki adanya suatu hubungan baru antara dunia bisnis dan dunia fisik nyata. “Kita tiba pada titik esensial bahwa ekonomi adalah masalah  agama kalau kita menganggap bahwa ancaman baik terhadap ekonomi maupun agama berasal dari satu sumber, yaitu perusakan lingkungan. Air yang terpolusi tidak dapat dipakai baik untuk minim maupun baptisan, karena tidak lagi bisa melambangkan simbol kehidupan tetapi kematian”(Thomas Berry—nabi bumi dan “ahli geologi”—1998,79-80 ).
Penyebab dari spektrum penderitaan manusia dan lingkungan lebih sederhan maupun lebih kompleks: penyebabnya, sebagian besar, adalah akibat dari berbagai keputusan manusia, akibat dari keputusan sebagian manusia, yang berkuasa, terhadap sesamanya. Di dalam keputusan-keputusan semacam itu, manusia bukan merupakan objek atau tujuan utama, karena orientasinya terutama ditujukan pada keuntungan pribadi, yang biasanya bersifat ekonomis. Manusia merupakan bagian dari mekanisme atau proses meraih keuntungan semcam itu. kemiskinan manusia dan perusakan lingkungan adalah akibat dari, kalau bukan secara sengaja maka tak pelak lagi, keputusan yang didasarkan pada keuntungan, terutama kalau keputusan semacam itu dilaksanakan atau diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan ekonomi, sistem hukum, dan peraturan-peraturan internasional.
Keputusan-keputusan itu yang dibuat oleh segelintir orang tetapi berdampak pada kehidupan dan kemampuan hidup manusia dan planet ini, merupakan viktimisasi sebagian manusia oleh manusia yang lain.
kesadaran bahwa viktimisasi dan ketidakadilan telah menjadi bagian dari “tata dunia” kita juga telah meresap masuk, perlahan namun pasti, ke dalam kesadaran umat berbagai agama, tidak peduli apapun tradisi mereka. Mereka yakin bahwa jika identitas agama mereka, baik dalam iman maupun praktek, tidak merangkul dan menanggapi para korban, identitas tersebut tidak autentik terhadap sumbernya serta tidak relevan terhadap dunia ini. Bagian penting, barangkali terutama, dari sikap agama terhadap adanya viktimisasi dan ketidakadilan adalah pengakuan yang realistis dan rendah hati dan dengan rasa penyesalan bahwa selama ini agama memainkan peranan yang memalukan karena telah turut dalam penindasan manusia atas manusia lain. Agama harus mulai mengaku dosa-dosa yang telah menyebabkan ketidakadilan ini sebelum mereka berusaha mencari jalan keluarnya. Mereka harus mengakui bahwa selama ini agama telah menjadi candu sehingga manusia menjadi korban; hanya dengan cara ini agama-agama mampu menjadi energi untuk membebaskan manusia. 
Dalam hubungannya dengan keadaan yang memprihatinkan dari penderitaan dunia kita ini, dalam hubungan dengan krisis kemanusiaan dan ekologi yang menjadi-jadi yang mengancam semua bangsa, ada sekolompok orang yang berusaha merumuskan suatu etika global yang dapat dipakai sebagi dasar yang dapat menuntun sikap bersama untuk mengatasi semua krisis yang ada. Salah seorang di antara mereka yang suaranya paling kuat adalah Hans Küng. Argumen Küng sederhana namun ketat: masalah-masalah yang mengancam manusia kini membutuhkan penanganan bersama dan terpadu, namun hal itu tidak mungkin terjadi kecuali didasarkan pada dan diarahkan oleh satu persetujuan bersama tentang tujuan etis dan cara-cara etisnya yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. Tanpa konsesus semacam ini, kelompok-kelompok berbeda yang menghadapi masalah bersama tidak bisa bertindak bersama dan karena itu tidak dapat hidup bersama. “Tanpa suatu konsesus dasar minimal tentang nilai, norma, dan sikap tertentu, tidak mungkin ada masyarakat yang mampu bertahan baik dalam kelompok kecil maupun besar”(Küng 1991, 28).
Tiga wawasan etis menyangkut dunia yang kita huni[2]: 1) Manusia, sebagai individu dan komunitas, mempunyai suatu tanggung jawab global—yaitu, suatu tanggung jawab untuk mengusahakan kesejahteraan dan memperbaiki kehidupan manusia dan dunia yang sedang terancam; 2) Tanggung jawab semacam itu tidak dapat dilakukan secara terpisah oleh individu atau suatu kelompok secara sendiri-sendiri. Aksi yang terlepas-lepas dan tidak terkoordinasi tidak akan cocok dengan tanggung jawab yang diberikan; dan 3) Proyek komunal bersama semacam itu memang tidak mungkin—di sini Küng benar—tanpa semacam persetujuan komunal atau konsesus mengenai nila-nilai etis, visi dan pedoman untuk melakukan aksi. Kita membutuhkan dialog global menuju suatu “etika global” agar bisa melaksanakan tanggung jawab global kita. Pandangan ini mungkin terdengar idealistik, terlalu ambisius dan utopis, namun, pandangan ini juga perlu.
Berkaitan dengan peranan Agama dalam Merumuskan Etika Global, Küng maju selangkah lagi dalam usulannya. Ia berpendapat bahwa etika global semacam itu diperlukan untuk melastarikan aksi global tidak dirumuskan tanpa sumbangan agama. Itu berarti sumbangan terpadu berbagai komunitas beragama. Jadi, tidak ada etika global tanpa masukan dari dialog antar-agama yang sifatnya global. Ini merupakan suatu klaim yang besar. saya kira dia mendasari pemikiran ini atas suatu argumen filosofis bahwa moralitas memerlukan fondasi religus.                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                               Selanjutnya, pada bagian berikut ini akan menjelaskan secara eksplisit jawaban kritik pascamodern, serta berupaya menunjukkan mengapa tanggung jawab global bersama menyediakan lahan yang lebih memberi harapan di mana agama-agama bisa menemukan atau merencanakan dasar dialog bersama.
Dalam upaya menyeimbangkan religius-kultural dengan tanggung jawab global, kita harus mengakui bahwa keduanya tidak memliki bobot yang sama. Bagi kita tanggung jawab terasa lebih penting; tanggung jawab “lebih nyata”, atau lebih mengungkapkan kenyataan daripada kepelbagian. Oleh karena itu, sambil berusaha sedapat mungkin menghormati kepelbagian, kita harus mengubahnya dari suatu halangan menjadi suatu sumber bagi tanggung jawab yang benar-benar beragam (diversified), komunal, dan dialogis. Kita mesti yakin bahwa adalah mungkin bagi semua yang berbeda-beda perspektifnya untuk bersama menjembatani perbedaan dan partikularitas serta kemudian saling memahami. Kalau kta yakin bahwa ada kehidupan sesudah mati, kita bisa atau harus percaya juga bahwa ada dialog sesudah kepelbagaian.
Dialog membutuhkan : “a) hormat terhadap diri sendiri (termasuk menghormati tardisi seseorang); b) membuka diri untuk melihat yang lain sebagai yang lain; c) dan kesediaan untuk menemukan segala resiko sebagai akibat dari bertanya jawab dan menyelidiki yang membentuk dialog itu sendiri” (Tray 1990a, 73).
John Cobb, yang mencaci para pluralis karena menyusun suatu isi atau suatu proses normatif untuk berdialog, memang mengakui bahwa semacam persetujuan umum dan normatif harus diterima sebelum dialog dimulai. Ia mengusulkan suatu “norma objektif yang relatif” yang dapat dan harus diterima oleh para peserta dialog: mereka harus mengakui bahwa kebenaran itu lebih luas daripada apa yang mereka yakini melalui agama mereka sendiri-sendiri dan bahwa mereka mampu melihat sesuatu dari kebenaran yang luas ini dengan cara berdialog dengan orang lain. Umat beragama yang serius dengan masalah dialog harus menegaskan “keyakinan bahwa ada lebih banyak kebenaran dan kebijaksanaan daripada yang terdapat di dalam tradisi sendiri-sendiri” dan karena itu mereka harus mengakui “bahwa suatu tradisi yang setia pada masa lampaunya bisa diperkaya dan ditransformasikan dalam interaksinya dengan berbagai tradisi lainnya”. Kalau mereka tidak mengakui keyakinan ini mereka tidak bisa berdialog (Cobb 1990, 86-87). Hal ini dapat diartikan  bahwa dialog tidak dimulai dengan melihat ke dalam berbagai tradisi, tetapi dengan melampaui tradisi-tradisi tersebut masuk ke dalam api penderitaan manusia dan bumi ini yang sedang membara di sekitar kita.
Apa yang harus menjadi bagian  dari mentalitas dialogis adalah kesadaran yang aktif mengenai ketidaksetaraan dalam masyarakat kita dan kesadaran mengenai orang yang suaranya tidak didengar seperti suara orang lain; kalau tidak demikian., dialog menjadi lumpuh total. Oleh karena itu, keprihatinan pada pembebasan dan keadilan harus menjiwai semua dialog; dialog itu sendiri harus menjadi alat untuk mengubah struktur yang menindas atau yang menyingkirkan orang sehingga setiap orang bisa bersuara.
Kewajiban moral untuk menjadikan tanggung jawab global sebagai suatu bagian penting dari dialog bisa menjadi suatu kesempatan hermeneutis yang bisa memberikan dinamisme dan terang baru terhadap berbagai upaya untuk saling memahami tradisi agama kita. Kaum miskin dan Bumi yang menderita bisa menyumbangkan “hubungan hermeneutis” kepada agama-agama dan dengan mata dan telinga baru saling melihat dan memahami. Sebuah harapan sebagaimana teologi Kristen telah mengalami revitalisasi dan memiliki haluan baru karena menafsirkan Injil melalui mata dan pergumulan mereka yang tertindas, begitu pula dialog antar-iman akan mengalami pembaruan visi melalui praksis tanggung jawab global bersama yang mendasari dan mengarahkan dialog.

No comments:

Post a Comment