PADA TAHUN 1219, Fransiskus pernah berada di suatu negara muslim. dia mendengar setiap siang muezzin memanggil umat untuk berdoa. Untuk itu ia membuat hal sama agar setiap setiap malam dimaklumkan oleh seorang pewarta pujian dan syukur kepada Tuhan Allah Yang Mahakuasa (lihSurPim)
A. PENGANTAR
Fransiskus dan Klara hidup dalam abad “revolusi komersial” yang dalam istilahs ekarang globalisasi pasar ekonomi dan gagasan. Fransiskus dan gerakannya merupakan motor perombakan yang mendalam. Fransiskus menyadarkan Gereja untuk mebawa kabar baik bagi semua bangsa—keluar dari lingkup tervatas kekristenan adalah kewajiban bagi Fransiskus dan persaudaraannya. Hal itu terlihat dari sikap Fransiskus dan saudara dina pertama terhadap kaum muslim
B. TINJAUAN
Tahap Pertama : proses terjadi atau ditolaknya inkulturasi dalam sejarah kekristenan dan bagaimana Gereja akhirnya menyadari pentingnya tugas inkulturasi ini. Lalu juga, gambaran situasi Gereja Perdana, yang telah terjadi inkulturasi spontan walaupun ada ketegangan (bahaya “Gereja Kolonial”).
Tahap Kedua : dasar teologis inkulturasi dan akibat praktisnya.
Tahap Ketiga : pertanyaan terhadap peran keluarga fransiskan dalam proses inkulturasi dewasa ini.
C. INFORMASI
1. PAHAM BARU PROSES ALAMI
Istilah inkulturasi muncul dalam bahasa gerejawi pada pertengahan tahun 70-an. Istilah itu dimaksudkan sebagai suatu kejadian alami: Sabda, kabar baik, menyetuh manusia yang hidup dalam kebudayaan tertentu dan diwarnai oleh budaya itu. Kebudayaan dirumuskan sebagai jalinan hubungan, yang memenuhi kebutuhan fisik, psikis, sosial dan religius suatu kelompok atau masayrakan tertentu. Dengan kata lain kebudayaan adalah cara jhas bagaimana manusia “berhubungan dengan alam, sesama, Allah”.
Disadari bahwa dalam setiap kebudayaan terdapat unsur yang lebih dekat dengan Injil sehingga iman kristiani yang dihayati berdasarkan kebudayaan di mana ia berakar, memperoleh wujud yang berbeda.
Inkulturasi selalu menghargai kebudayaan. Tetapi Gereja Roma yang terikat pada kekuasaan Kaisar Konstantinus (306-307) telah melahirkan kolonial, sivilisasi, dan kristenisasi. Akibatnya terjadi model ‘transplatasi’ dalam arti bahwa misi dipahami sebagai suatu usaha dalam hubungan dengan kekuasaan politis, serentak ditentukan oleh sikap superioritas, yang secara umum menilai bangsa-bangsa dan kebudayaan lain sebagai sebagai kurang beradab. Justru karena itu sangat minim usaha yang dilakukan untuk memahami kebudayaan asing sebagai tanah subur bagi kebudayaan kristen.
Usaha inkulturasi oleh saudara fransiskan Bernardione de Sahagun (1500-1590) di Meksiko lewat karya ilmiahnya tentang uapaya inkulturasi menghasilkan titel “bapak ilmu bangsa-bangsa” (etnologi). Ia mengusahakan pendidikan awam untuk elit dan imam Indian lewat Kolese tlaltelolco tetapi 10 tahun kemudian usaha keras dan berhasil itu ditolak oleh saudara fransiskan sendiri, penguasa spayol karena memiliki tujuan politis: “Spayol Baru” dan Gereja Spayol yang terbersihkan dari unsur-unsur ‘kafir’.
Akhir jaman kolonial sebagai kesempatan baru bagi inkulturasi. Sebelumnya selalu diduga bahwa ada sesuatu kekuatan moral-religius di belakang kekuasaan kolonial militer, ekonomi dan intelektual, yang melebihi nilai-nilai moral sendiri. Kasadarn baru akan kebuyaan dan politik setelah kekuasaan kolonial hilang, berpengaruh juga pada Gereja. Gereja menyadari bahwa ia telah berakar dalam kebudayaan baru dan tidak lagi merupakan suatu benda asing yang diatur dari jauh, ditentukan oleh kekuasaan asing.
Ketegangan subur antara kesatuan dan kebinekaan. Proses inkulturasi terjadi dalam ketegangan antara ‘inkarnasi’ Sabda dalam kebuydayaan yang berbeda-beda dan kekhawatiran akan kesatuan Gereja Roma—Katolik berhadapan dengan tradisi bahwa Gereja sentral berhak menentukan segalanya atas martabat teologis dari Gereja lokal. Semua orang harus mengambil sikap: atau mempertahankan mentalitas kolonial dan uniformitas atau membetuk kesatuan dalam kebinekaan.
2. KABAR BAIK BAGI SEMUA BANGSA—KRISTUS YANG SATU
Pokok inkulturasi adalah Yesus Kristus yang wafat bagi semua, yang bangkit dan mendahului untuk menyediakan tempat bagi semua. Isi kabar baik ini adalah persaudaraan antarsemua manusia sebagai tanda datangnya kerajaan Allah dan persaudaraan antarmereka yang yakin akan warta ini.
Kabar baik juga bagi yang bukan yahudi. Kebudayaan lain menuntut dari iman akan Kristus yang dihayati, suatu model liturgi, pemikiran teologis serta disiplin yang berbeda. Liturgi yang berbeda dibutuhkan karena tradisi ibadat yahudi tidak sendirinya dipahami oleh kristen-kafir. Dalam liturgi roma sekarang pun masih dapat ditemukan unsusr-unsur jemaat kristen-kafir. Penggunaan dupa, berlutut, mitra dan tongkat uskup, pakaian misa, semuanya itu masuk dalam liturgi dari tradisi bukan yahudi. ‘Bangsa kafir’ tidak dengan sendirinya ateis. Mungkin pengertian tentang Allah atau allha, cara yang khas untuk menghormatinya atau melunakkan sikapnya jauh berbeda dengan kita. sertiap kebudayaan memiliki rangkaian pesta religius yang menentukan kehidupan mereka.
Cara bermisi dengan klaim inkulturasi, salah satu polanya yaitu baju tetap dipakai, hanya isinya diubah.
Untuk itu Filsafat sebagai sarana teologi dapatr membantu dalam arti adalah suatu usaha untuk menangkap dan menentukan kebenaran iman dengan akal budi. Fides quarens intellectum: Iman membutuhkan pengetahuan.
Dari Gereja lokal ke Gereja Kolonial. Kebinekaan dibatasi oleh Roma. Rupanya inkulturasi hanya dapat dipertahankan dalam gereja yang terpisah dari Roma. Seperti Roma yang secara politis memusatkan semua hal dan bertindak kolonial.
Di dalam Gereja tidak pernah lenyap kesadaran bahwa tidak mengkin terdpat suatu bentuk kebudayaan iman kristiani universal. Karya misi selamai ini sangat dipengaruhi oleh superioritas kemajuan dan kekuasaan politis kolonial. Dua-duanya menutup jalan pada nilai rohani, juga dari kebudayaan yang tinggi peradabannya.
Terobosan pada pemahaman karya misi seperti dalam gereja Perdana, ditindaklanjuti pada KV II, yang menemukan hakikat Gereja lokal, seperti berlaku pada zaman para rasul. Walau demikian fakta menunjukkan bahwa untuk mewujudkan nya tetap amat sulit dan membutuhkan waktu yang lama. Gereja belum menemukan jalan yang pas menuju sebuah kebudayaan baru. Untuk itu perlu diperhatikan ensiklik Paus Yohanes II, “Inkulturasi mesti merupakan suatu ungka[an dari kehidupan komunitas, sesuatu yang mesti menjadi matang di dalam komunitas itu sendiri dan bukannyasemata-mata merupakan hasil dari suatu penelitian ilmiah. Iman yang matang menjaga keamanan nilai-nilai tradisional.
3. INKARNASI SEBAGAI MODEL INKULTURASI
Lahir dari seorang perempuan berarti : Yesus dapat dikenal sebagai seorang Semit, sebagai putra dari seorang ibu, menurut bentuk badan dan warna kulit. Seperti ibu-ibu lainnya maria mensosialisasikan kebudayaannya kepada anaknya. Apa artinya bagi tema inkulturasi kita? seperti rumusan dalam KV II, inkulturasi harus terjadi sesuai dengan inkarnasi keselamatan. Maka perlu dipercaya tegus bahwa begitu besar kasih Allah akan dunia sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, sehingga manusia dapat mengambil bagian dalam keallahan. Sabda harus menjelma menjadi daging dalam kebudayaan lain. Seperti Yesus dengan pola kenabian melawan perkembangan yang salah di sinagoga dan dalam masyarakat, serta mewartakan pengertian baru tentang anak-anak Allah, demikian dewasa ini kabar baik-Nya akan menguji setiap kebudayaan dan perkembangan budaya. Hal itu berati bukan Cuma koreksi terhadap gambaran tradisional, tetapi juga penekanan dan pengangkatan nilai-nilai yang lebih luas dengan injil.
Antara cita-cita dan kenyataan, pada dasarnya Gereja selalu menekankan kebutuhan akan inkulturasi. Tetapi Gereja tetap berat untuk mewujudkannya dalam praktek. Tanda kedewasaan ialah menemukan jalan dan bertindak sendiri, tetapi tetap dalam kontak dengan Gereja universal. Dengan demikian usaha untuk berinkulturasi kelihatan lebih seperti berjalan di tepi jurang yang membutuhkan kepastian menapak, keluwesan serta kebebasan rohani.
Peran komunitas religius dapat memperbarui Gereja. Gereja selalu menggerakkan manusia untuk mengikat diri pada persekutuan religius tertentu. Sebagai persekutuan yang meluas di seluruh dunia, tarekat juga menajadi ikatan pada kebudayaan yang berbeda serta serentak pada Gereja universal.
4. INKULTURASI SEBAGAI TUGAS FRANSISKAN
Keluarga fransiskan pun dengan segala ragam bentuk, tanpa pikir panjang bertindak sama seperti Gereja Roma terntang inkulturasi. Mereka mentransplantasikan persekutuan ke dalam kebudayaan berbeda. Pakaian, gaya hidup dankebiasaan tarekat serta karya umumnya dapat menunjukkan dari mana asal suatu tarekat.
Memihak kaum miskin menjadi kewajiban iman akan Kristus. Sikap ini tidak enak dan dapat menjadi berbahaya. Karena, orang miskin pada umumnya dijadikan miskin, artinya mereka adalah hasil dari tindakan dosa orang lain, maka perjuangan untuk keadilan bagi mereka adalah yang utama. Para fransiskan juga sering tergoda berbicara damai dan kerukunan, tetapi belum mewujudkan keadilan dan bersedia memberi silih karena dosa dan kejahatan. Jalan untuk tebusan dan perdamaian memang tergantung pada kebudayaan masing-masing. Jelas bahwa berdasarkan kebudayaan yang berbeda persilihan diatasi dengan cara yang berbeda dan bahwa pemahaman tentang keadilan dan silih juga berbeda.
Fransiskus dan Klara melahirkan suatu gerakan yang merupakan jawaban atas tindakan keluar dari kebudayaan lama menuju kapitalisme awal. Dewasa ini dalam dunia yang penuh masalah, dan manusia harus menghadapi tantangan “globalisasi” dan “desa dunia” dengan kapitalismenya, pemikiran Fransiskus terasa amat dibutuhkan. Dengan hidup dalam dunia urban yang penuh sesak, manusia kini mengembangkan suatu budaya yang melampaui benua, masyarakat, sistem nilai dan agama. Kalau Gereja mau melayani mereka, membawakan kabar baik tentang Kerajaan Allah supaya kebudayaan masa depan tetap manusiawi, maka, dibutuhkan orang kristen seperti Fransiskus dan Klara, yang dapat memberi jawaban atas situasi zamannya.***
a.anjas nugroho
No comments:
Post a Comment