Saturday, October 23, 2010

Plato

Plato lahir di salah satu keluarga bangsawan Athena sekitar 427 SM dan meninggal sekitar 347 SM. Tujuan filsafatnya, seperti yang dikatakan William Bluhm adalah untuk memahami nilai/value lebih jelas lagi daripada yang telah dipahami saat itu dan untuk menunjukkan pijakannya dalam nalar moral. Dalam fisafat Plato, virtue adalah “Pengetahuan tentang Yang Baik” dan itu diajarkan.
Dia termasuk salah satu filsuf Yunani yang sangat berpengaruh, murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Karyanya yang paling terkenal adalah Republik (dalam bahasa Yunani Πολιτεία atau Politeia, “negeri”) di mana ia menguraikan garis besar pandangannya pada keadaan “ideal”. Dia juga menulis “Hukum” dan banyak dialog dimana Socrates adalah peserta utamanya.
Sumbangsih Plato yang terpenting adalah ilmunya mengenai ide. Dunia ini menurutnya tiada lain hanyalah refleksi atau bayangan dari dunia ideal. Di dunia ideal semuanya sangat sempurna. Hal ini tidak hanya merujuk kepada barang-barang kasar yang bisa dipegang saja, tetapi juga mengenai konsep-konsep pikiran, hasil buah intelektual.
Dialog-dialog Plato
Dialog awal/pertengahan: Euthydemus, Gorgias, Menexenus, Meno, Protagoras,
Dialog pertengahan: Kratylus, Phaedo, Phaedrus, Republik, Simposium,
Dialog pertengahan-akhir: Parmenides, Theaetetus
Konteks Intelektual dan Politik Zaman Plato
Fondasi filsafat politik Plato bisa dikatakan adalah “the transcendent good.” Dan pencarian Plato terhadap “Yang Baik” itu hanya bisa dipahami dalam konteks ilmu politik di masa awal Yunani, dan hubungan yang digambarkan Plato antara ilmu tersebut dengan Perang Peloponnesia, sebuah perseteruan besar antara Athena dan Sparta untuk memperebutkan hegemoni dunia Yunani (434-404 SM).
Ilmu Politik Naturalistik
Awal ilmu Politik bisa ditemukan dalam karya-karya Filsuf Ionia pada abad ke 6-5 SM. Merekalah yang pertama kali memperkenalkan teori umum yang naturalistik tentang hukum kausa sebagai ganti dari mitos tradisi dan agama. Kita mengenal Anaximander dan Anaximenes dengan teori kausa mekanisnya. Atau Thales yang berhasil memprediksi gerhana bulan pada 585 SM. Untuk Teori sosial dan politik, kita mengenal Demokritus dengan teori atomnya dan Protagoras, tokoh rasionalis utilitarian yang sering diangap sebagai Bapak Relativisme karena meletakkan ukuran segala kebenaran pada manusia. Plato banyak menyinggung-nyinggung mereka dalam dialog-dialognya.
Demokrasi Pericles dan Para Sophis
Trend ilmu politik yang diuraikan diatas berkembang di dunia politik Yunani saat itu yang merupakan era keterbukaan dan pembauran antar kultur, serta masa-masa skeptis dan sekular. Meluasnya cakrawala pikiran ditengah kebingungan menghadapi kehidupan manusia dengan segala keragaman sikap, pemikiran, ideologi, hukum dll. Tidak ada perspektif final yang bisa ditemukan. Kebenaran yang dipuja di satu sekolah filsafat bisa jadi merupakan kesalahan di sekolah yang lain.
Athena adalah komunitas terbuka tempat perseturuan segala talenta dan kecerdasan. Karena itu sekolah-sekolah sophis timbul dimana-mana, dengan menitikberatkan pada pelajaran-pelajaran teknis untuk memperoleh kesuksesan di ranah sosial dan politik daripada pengajaran filosofi dan moral. Dengan demokrasi langsung, kebijakan dibuat di Ecclesia, lembaga yang dihuni pria-pria Athena yang kekuasaannya tidak terbatas, dan semenjak posisi itu tidak diwariskan, ia jadi diperebutkan.
Dan Sophis yang biasanya kita artikan sebagai “orang bijak,” saat itu adalah guru keliling dan perannya cukup berpengaruh dalam proses demokratisasi kehidupan Yunani. Sebagai cendekia yang pandai berdebat, membual dan beretorika, harus diakui konotasi sophis tidak begitu bagus saat itu dan sikap Plato sangat kritis terhadap para Sophis ini.
Perang Peloponnesia
Kekacauan lain yang dihadapi Plato semasa hidupnya adalah Perang Peloponnesia. Ia lahir pada tahun keempat perang tersebut. Pesatnya kemajuan Athena beserta polis dan koloni-koloninya di seluruh Aegean di pantai Asia minor di segala bidang pada 431 SM. menemukan antitesanya di Sparta dan para sekutunya di Liga Peloponnesia. Perlawanan yang dilancarkan Sparta terjadi di berbagai level; level ekonomi (kekuatan agraria vs kekuatan perdagangan laut), level masyarakat (religius tradisional vs sekuler inovatif), dan level politik (aristokrasi tertutup vs demokrasi terbuka). Dan hasil akhirnya adalah untuk Sparta.
Thucydides mencoba merumuskan analisa saintifik mengenai perseteruan ini dengan memakai frame naturalistik Democritus dan Protagoras. Tapi tak seperti para pendahulunya itu, dia tidak bisa menggambarkan resep utilitarian untuk kestabilan demokrasi dan konsensus dalam penjelasannya. Dia hanya bisa menjelaskan sebuah patologi tanpa bisa menawarkan solusinya. Demokrasi di satu sisi penuh dengan energi yang tercermin dalam kegemilangan ekonomi dan politik Athena tapi di sisi lain, institusi demokrasi juga mengakibatkan ketidakstabilan kekuatan tersebut. Demokrasi menurutnya bisa memfasilitasi munculnya kekuatan yang besar namun tidak bisa menolong untuk merawatnya.
Pencarian terhadap Tuntutan Moral (Moral Order)
Plato menghabiskan masa mudanya menyaksikan adegan-adegan konflik yang puncaknya adalah adegan kejatuhan kerajaan Athena dan keruntuhan institusi demokrasinya. Yang tersisa dari politik saat itu adalah kekalahan, konspirasi dan dominasi kelas. Perseteruan warga terus berlanjut bahkan jauh setelah perang usai. Puncaknya, tahun 399 S.M. Plato menyaksikan Socrates, gurunya yang paling dicintai dieksekusi dibawah rezim demokrasi yang telah direstorasi setelah kekalahan sebagai kambing hitam dari perseteruan antar faksi.
Situasi Athena and Yunani yang menyedihkan itu membuat Plato bertekad menerapkan cara baru dalam berpikir tentang Politik dan Etik.
Metode Plato
Pengaruh Socrates
Plato menerima konsep sentral filsafat dan elemen utama metode investigasi milik Socrates. Beberapa diantaranya menurut A.E. Taylor adalah konsep tentang jiwa, teori tentang Form/Idea, menjadikan virtue sebagai “pengetahuan tentang yang baik,” dan penyelidikan dialektis. Karya-karya awalnya bahkan adalah usahanya untuk memulihkan nama baik gurunya itu dan menjelaskan penjelajahan gurunya dalam mencari kebenaran.
Yang perlu ditekankan disini adalah bahwa Plato dan Socrates, tidak seperti Sophis, keduanya tidak menolak tradisi melainkan menguji and memeriksanya kembali. Usaha Plato bisa dikatakan adalah untuk mendirikan kembali nilai-nilai tradisional diatas fondasi yang baru. Dia menekuni disiplin pengujian dialektis terhadap prakonsepsinya tentang kebenaran moral dan terlibat dalam perdebatan mengenai asal-usul tertinggi dari segala sesuatu, bahkan setelah Socrates tiada. Ia menciptakan Akademi, sekolah formal di abad ke 4 SM. sebuah institut untuk Studi-studi etik tingkat lanjut tempat sejumlah pelajar mendalami “pengetahuan tentang yang baik.” Disinilah, sebagaimana dkatakan Bluhm, doktrinnya mulai muncul, doktrin tentang “yang baik”, dan politik yang baik, rezim terbaik: Republic, Statesman, dan Laws.
Psyche
Ide pusat atau titik berangkat metode Plato adalah sebuah konsepsi yang dalam bahasa Yunani diseut psyche (soul/jiwa). Kata ini sebetulnya telah lama digunakan sebelumnya tapi Socrateslah yang pertama kali mengunakan istilah itu untuk menamai semua aspek non-fisik manusia dan hal itu dilanjutkan oleh Plato. Elemen dasar jiwa adalah kehidupan. Jiwa yang merdeka dihadapkan dengan materi yang tidak merdeka dan digerakkan oleh yang lain.
Dengan konsep inilah Plato menyerang empirisme. Kita menyaksikan sejumlah kuantitas empiris tapi kita tidak bisa mereduksinya kepada penyebab akhir yang empiris karena pasti ada sebab empirisnya juga. Karena itu kata Plato, asal-usulnya pasti non-empiris. Plato beranggapan untuk memahami kehidupan atau aktifitas benda-benda empiris, seseorang harus menyebutkan kekuatan non-empiris yang bisa memerintah dirinya sendiri, dan itu tiada lain adalah psyche.
Yang Mengetahui (knower) dan Yang Diketahui (known)
Psyche memiliki kemampuan melihat objek-objek abstrak dan tidak tercerap oleh indera. Panca indera memberikan pikiran informasi tentang dunia empiris tapi ketika pikiran mulai merefleksikan data tersebut dan mencari bentuk/pola umumnya dengan cara membanding-bandingkannya maka, aktifitas ini dioperasikan oleh sebuah kekuatan dan menggunakan Ide abstrak yang tida bisa dipersepsi oleh indera apapun.Ide tersebut bisa merupakan notasi matematika, kualitas fisik, kualitas moral, konsepsi estetik, dan akhirnya Ide tentang esensi absolut, ide yang mengandung semua kualitas yang dimiliki oleh seluruh ciptaan. Contohnya ide tentang meja yang berbeda dengan data perseptual dari meja ini.
Singkatnya ide menurut Plato adalah semua benda yang tidak terlihat yang kita sadari lewat refleksi. Sedangkan Pengetahuan adalah kesadaran / komprehensi ide-ide tersebut dan relasinya satu sama lain.
Metafisika Plato, Idea/Form sebagai yang Real
Dari situ Plato beranjak ke kesimpulannya bahwa Idea / Form adalah satu-satunya dan sebenar-benarnya kenyatan. Idea tetap permanen sementara dunia penginderaan tak henti berubah. Dengan kata lain, Plato mengadopsi pandangan noumenalis terhadap realita.
Indera pencerap yang senantiasa diagung-agungkankan itu ternyata menurut Plato sering tidak akurat dan menimbulkan problem bagi pengetahuan sebagai akibat dari karakter dinamis benda-benda empiris . Menurutnya, eksistensi sebenarnya hanya muncul dalam pikiran. Plato tidak mengatakan bahwa pikiran menciptakan sendiri idenya. Dia bukan subjektivis. Plato mengakui bahwa Ide memiliki eksistensi diluar pikiran. Ada langit diatas langit. Dan Plato percaya pasti ada sesuatu yang objektif, memiliki pole yang tetap, murni, abadi, dan tidak berubah-ubah.
Semua Idea-idea, diyakini Plato merujuk kepada sebuah ide sebagai prinsip yang menyatukan mereka, yaitu Idea of Good (Idea tentang yang baik). Idea inilah yang menjadi ukuran kebaikan dan pengetahuan tentang Idea/Form lain. Tapi sayangnya Plato tidak memberkan gambaran yang lebih jelas tentang the Good, kadang ia mengartikannya sebagai karakteristik, esensi dan kadang fungsi atau tujuan. Ia hanya mengatakan bahwa the Good hanya bisa diketahui oleh orang yang memiliki daya intelektual, kedisiplinan, moralitas dan kecintaan terhadap kebaikan yang tinggi. Dalam The Republic Plato menjelaskannya secara diskursif dan kadang puitis seperti “Alegori Gua” yang terkenal itu. Konsep Idea ini penting karena berkaitan dengan tujuan manusia menurut Plato. Karakter, esensi, fungsi dan tujuan utama psyche sebagai kenyataan asasi manusia menurut Plato adalah untuk mengetahui dan mencintai Idea tentang yang baik, yang benar dan yang bagus.
Dialektika
Plato mengunakan bentuk dialog untuk memaparkan filsafatnya. Dia juga menunjukkan kepada kita metode yang membuatnya bisa sampai kepada sebuah kebenaran filosofis. Teori-teori tentang pengetahuan, metafisika, teologi, psikologi dan etika sebagaimana diuraikan diatas tak lain adalah beberapa bagian metodenya untuk mempelajari politik.
Dari situ Plato menunjukan kepada kita kehidupan yang baik yang diperlihatkan oleh kehidupan yang rasional, kehidupan yang dibimbing oleh Idea, khususnya Idea tentang yang baik. Disana ada Idea tentang Polis yang absolut dan sempurna yang akan terefleksikan dengan baik atau buruk pada kenyataannya. Disana ada juga ada Idea tentang keadilan atau kualitas lain dalam bahasa kita yang menjadi karakter negara dan warganya. Dan Plato bisa menyimpulkan bahwa siapapun yang ingin menjalani kehidupan yang rasional, dia harus memiliki pemahaman tentang kenegaraan yang Ideal agar urusan-urusan publik berjalan dengan baik. Akhirnya, masyarakat bisa diselamatkan dari kekacauan dan ketidakteraturannya, tentu saja oleh orang yang benar-benar memahami Idea/Form dari Polis.
Teori Politik dari The Republic
Definisi Keadilan
Definisi keadilan bisa ditemukan dalam penggambaran Plato tentang dialog antara Socrates dan sahabat-sahabatnya pada perjamuan di rumah Cephalus. Definisi Cephalus dan anaknya Polemarchus tentang keadilan cenderung tradisionalistik sedangkan Thrasymachus lebih bersifat sophis. Plato sendiri beranjak dari definisi teleologis dari pemerintah bahwa tujuan dari pemerintah adalah memperjuangkan kebaikan dari yang diperintah dan semua menjalankan fungsinya masing-masing. Singkatnya, Plato mengartikan keadilan sebagai virtue, kemampuan yang membuat semua jiwa dan polis untuk menjalankan tugas dan pekerjaannya masing-masing.
Polis bagi para Gembala
Dari sini, Plato mulai menggambarkan Polis yang ada dalam Ideanya kedalam realita. Sebagaimana ahli geometri yang menggambar segitiga dan lingkaran untuk mengkomunikasikan idenya. Pelukisan Polis ini pun dimulai dengan definisi teleologis, bahwa fungsi dari Polis adalah untuk memenuhi kebutuhan individu yang tidak dapat ia penuhi sendiri.
Kebutuhan pertama manusia adalah kebutuhan dasar seperti sandang, pangan, papan dan sebagainya. Dari kebutuhan itu, tanpa disadari dan secara spontan muncullah spesialisasi di bidang ekonomi dan pertukaran. Ada kepentingan yang saling melengkapi dan kerjasama yang spontan. Plato mengatakan bahwa konstitusi Polis yang seperti inilah yang benar-benar sehat. Dari sini muncullah keinginan terhadap kemewahan yang nantinya membuat Polis semakin kompleks dan meningkatkan kekuatannya. Terciptalah golongan tentara. Paradox terjadi karena timbul kecintaan yang berlebihan terhadap materi, perang dan perebutan harta. Dari ide manusia yang polos dan penuh nafsu ini, Plato beranjak ke Ide Tri-Fungsi Manusia. Meminjam istilah Francis Cornford, Masyarakat yang baik harus memiliki tiga institusi sosial yang berfungsi; membuat keputusan dan memerintah (legislatif), melaksanakan (eksekutif dan administratif), dan memproduksi. Pemisahan ini diturukan dari Idea tentang manusia yang rasional, spiritual dan penuh nafsu.
Pendidikan para Guardian
Selanjutnya, The Republic dipenuhi percikan-percikan pemikiran tentang sistem perekrutan anggota dari ketiga bagian diatas. Tapi hanya proses seleksi dan rekrutmen dari kelas guardian (yang memerintah) yang mendapat perhatian lebih karena menurut Plato, baik atau buruknya pemimpin mempegaruhi baik atau buruknya masyarakat. Plato menggambarkannya secara mendetail dan panjang lebar, tapi singkatnya itu merupakan pendidikan yang keras, lama, tertutup, kadang lebih bersifat genetis, tapi bukan seperti sistem kasta.
Bagi kelas lain, ideologi dan justifikasi virtue disampaikan dalam bentuk Noble Lie/Royal Lie (lebih tepatnya mungkin Mitos atau legenda dari terjemahan Yunani Pseudos) karena kemampuan nalar mereka dianggap tidak akan saggup menerima penjelasan filosofis yang panjang dan sulit. Dan ini memang sudah menjadi ciri khas Plato untuk menyampaikan tema-tema filosofis yang sulit dalam bentuk cerita, alegori dsb.
Keadilan dalam diri individual kemudian lebih jelas terlihat, ini adalah Idea hubungan kontrol antar bagian dalam jiwa dalam Idea tentang manusia. Problem bahwa keadilan tidak merata tertanam disemua warga dijawab Plato bahwa semua warga bisa berlaku adil. Bedanya, sikap adil kelas pemerintah dikontrol oleh rasio sedangkan kelas yang lain oleh kepercayaan.
Dapatkah Polis yang Ideal itu dikonstitusikan?
Polis yang baik harus diakui tidak bisa muncul dengan sendirinya seperti doktrin marxis atau liberal. Harus ada seorang filsuf yang menguasai Idea dan memberikan kekuatannya untuk melakukan reformasi. Dan itu tidak mudah menurut Plato, dengan wabah opini mayoritas dan runtuhnya nilai-nilai kultur dalam rezim demokrasi dan egalitarianisme seperti yang dialami Athena. Perlu ada perubahan besar-besaran. Tapi tidak ditemukan dimanapun dalam karyanya indikasi Plato yang menyiratkan untuk melakukan revolusi berdarah. Ia mencintai negerinya sendiri. Doktrin The Republic setelah itu boleh dikatakan lebih bersifat privat daripada publik. Tak apa Ideanya tak menjadi nyata, atau polis-polis yang ada begitu bobrok dan keadilan yang diimpikan tidak pernah menjadi kanyataan tapi Plato berharap ada individu privat yang memiliki gambaran tentang Polis yang baik bahkan sebelum dia bisa benar-benar menjalaninya atau meskipun ia hidup di polis yang bobrok. Jika Polis Ideal dianggap tidak mungkin, maka ini masih memungkinkan terciptanya individu yang senantiasa mendisiplinkan jiwanya untuk menjadi merdeka di lingkungan sosialnya dan memimpin mereka ke kehidupan yang lebih baik.
Filsafat politik merupakan refleksi untuk memperdalam segi-segi politik dan dengan upaya ini kehidupan politik dapat mengungkap struktur-strukturnya, maknanya dan nilanya (Haryatmoko, 2003).  Melalui filsafat politik akan diketahui hakikat politik, seperti hakikat kekuasaan dan hakikat negara.
Plato dan Aristoteles berpendapat bahwa kekuasaan yang besar pada negara merupakan hal yang sepatutnya.  Individu akan menjadi liar tak dapat dikendalikan, bila negara tidak memiliki kekuasaan yang besar.  Negara harus menjinakkan mereka dan mengajarkan nilaai-nilai moral yang rasional.  Seperti dikatakan Plato (Schmid dalam Budiman, 2002: 8):
Dalam Negara tersebut akan berkuasa akal (rasio) sebagai ganti Tuhan.  Segala keinginan untuk mementingkan diri sendiri harus dihilangkan dahulu bilamana kehidupan Negara yang sungguh-sungguh sempurna akan dicapai.  Individu harus sama sekali tunduk pada keseluruhan (kolektivitas).
Bagi Plato,  individu memiliki kecenderungan yang keras untuk bertindak atas dasar kepentingannya sendiri.  Negara harus mengatur semuanya.  “Negara ideal bagi Plato mengandung ketidakadilan terhadap ‘manusia’”, tidak ada kebebasan bagi manusia individu, sebab Plato mengucilkan semua keindividuan yang pribadi dari konsep negaranya demi mempertahankan moral yang baku (Lowith dalam Budiman, 2002: 8).
Aristoteles pada dasarnya berpendapat sama mengenai kekuasaan Negara atas individu.  Seperti diuraikan Schmid (Budiman, 2002: 8):
Negara itu juga menguasai manusia.  Keseluruhan selalu menentukan bagian-bagiannya.  Jadi di sini tampak pula penglihatan yang universalities dan bukan individualistis, dimana manusia itu tidak pertama-tama dipandang sebagai makhluk pribadi, melainkan sebagai warga dari suatu Negara.
Bagi Plato dan Aristoteles, kekuasaan Negara atas individu ini perlu untuk menegakkan moral.  Negara harus mendidik mereka.

No comments:

Post a Comment