Monday, October 25, 2010

SATU BUMI BANYAK AGAMA Dialog Multi Agama dan Tanggung Jawab Global

PETUALANGAN DIALOGIS

Suatu Pengantar Autobiografis

Dalam buku ini sang pengarang, Paul F Knitter, mengawalinya dengan memaparkan petualangan dialogisnya. Pengalaman ini dapat digambarkan sebagai suatu “perjalanan bersama orang lain” atau “suatu petualangan dialogis”. Menurutnya ada dua Yang Lain yang utama yang telah mempengaruhi hidup dan teologinya :  yang religius dan yang menderita.[1] Yang Lain yang religius adalah suatu Mysterium tremendum et fascinosum—sebuah misteri yang menakutkan sekaligus mengagumkan. Ia telah dibuat gelisah dan bingung, dan sering ditolak oleh apa yang diperkenalkan oleh Yang Lain yang religius itu, namun bersamaan dengan itu (atau segera setelah itu) ia juga sering tersentuh, terpikat, terdorong oleh keanehan yang menakutkan tersebut.  Lalu baginya, Yang Lain yang menderita telah membantu dan menuntun dalam merasakan bahwa yang menakutkan dari Yang Lain sebagai mitra dialog itu adalah yang menarik dirinya. Kalau mereka yang beragama bersama-sama mendengarkan suara mereka yang menderita dan tertindas, kalau mereka secara besama-sama merespon terhadap kebutuhan yang tertindas dan menderita itu, saya (Paul F.Knitter) yakin mereka mampu saling dan mengakui kebenaran dan kemampuan yang ada dalam masing-masing yang sebelumnya tidak dikenal. Yang Lain yang menderita menjadi mediator, atau saluran kepercayaan dan pemahaman, di antara berbagai wilayah keagamaan yang berbeda. Dengan pemahaman keyakinan dan pengalaman kekristenannya, ia dapat melaksanakan tugas teologis, dalam dialog dan dalam perjumpaan yang membawa berkat dengan kedua Yang Lain itu. Suara Yang Lain yang menderita telah membuatnya lebih mampu memahami suara Yang Lain yang religius. Kehadiran dari Yang Lain yang menderita, yang bersifat mendesak dan langsung merupakan kesempatan dan sarana baginya untuk masuk ke dalam dan memahami kedalaman misterius dari Yang Lain yang religius itu.
Jadi, dalam perjalanan waktu, gambaran Yang Lain yang religius itu, yang sebelumnya merupakan Misteri yang menakutkan  dan mengagumkan itu, telah dilengkapi dengan kenyataan bahwa mereka adalah sesama dalam perjalanan. Pengalaman dan kepercayaannya adalah bahwa sebagai penganut berbagai jalan yang berbeda agama, kita bisa menunjukkan keprihatinan dan tanggung jawab yang sama dalam menyikapi, sebagai orang-orang beragama, penderitaan manusia dan lingkungan serta ketidakadilan yang semakin meluas yang mengancam kehidupan dan bumi kita.
Dalam buku ini ia mengupayakan pembahasan bersama-sama keprihatinan teologi agama-agama dan teologi pembebasan. Ia berusaha meletakkan fondasi dari teologi-teologi agama-agama yang bersifat membebaskan, yaitu suatu teologi yang bisa mengembangkan dan memberi sumbangan terhadap keselamatan dan kesejahteraan dari manusia dan Bumi yang menderita; dan juga suatu teologi pembebasan yang dialogis, yaitu suatu teologi yang mampu merangkul  dan belajar dari potensi yang ada dalam berbagai agama demi perbaikan kehidupan manusia dan planet ini. Pendekatan dan model dalam buku ini, ia menamakannya sebagai pendekatan dan model dialog yang korelasional dan bertanggung jawab secara global diantara berbagai negara. Ia dalam mengusulkan sebuah model untuk suatu dialog atau teologi agama-agama yang “bertanggung jawab secara global” mendesak agar umat beragama berupaya saling mengerti dan berbicara atas dasar komitmen bersama terhadap kesejahteraan umat manusia maupun lingkungan. Karena tanggung jawab global mengandung pengertian pembebasan seperti yang dimaksudkan para teolog pembebasan tradisional, namun melampauinya dalam hal mencari bukan hanya keadilan sosial tetapi juga keadilan dan kesejahteraan umat manusia dan lingkungan (eco-human well being). Suatu dialog antar-agama yang “korelasional” mengakui adanya pluralitas agama, bukan karena pluralitas itu dalam dirinya baik tetapi karena memang ini fakta dalam kehidupan dan alat untuk membangun hubungan. Suatu dialog korelasional mangandaikan bahwa semua agama memang benar-benar beragam; tanpa kepelbagian ini, dialog menjadi percakapan dengan diri sendiri di depan cermin.
Agar dialog korelasional itu dapat berlangsung, perjumpaan dialogis harus dilakukan dalam suatu komuitas yang egaliter, bukan hierarkis. Tidak satu pun akan mengemukakannya dari satu posisi teologis yang mengklaim dominasi agamanya atas yang lain atau menghakimi Yang Lain. usaha  yang mau dibentuk adalah suatu arah yang dapat disebut suatu pendekatan yang “multi-normatif dan soteriosentris (berpusat pada keselamatan)” terhadap dialog yang didasarkan pada dasar yang sama, yaitu tanggung jawab global terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan. Kita perlu mengikuti mereka yang menganggap “keselamatan” atau “kesejahteraan” umat manusia dan bumi sebagai titik tolak dan dasar bagi upaya dalam membagi serta memahami pandangan dan pengalaman kita tentang “Yang Maha Penting” (Ultimate Important).






[1] Knitter, Paul. F, Satu Bumi Banyak Agama—Dialog  Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hlm. 2
[2] Knitter, Paul.F, Satu Bumi Banyak Agama, hlm.104.

[3] Knitter, Paul. F, Satu Bumi Banyak Agama—Dialog  Multi Agama dan Tanggung Jawab Global, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, hlm. 101—108.

[4] Knitter, Paul.F, Satu Bumi Banyak Agama, hlm.122—142.
[5] Knitter, Paul.F, Satu Bumi Banyak Agama, hlm.171—191.

No comments:

Post a Comment